Senin, 12 Mei 2008

AKU JEME SEMENDE !! : MENEMUKAN IDENTITAS

(TULISAN PERTAMA)

Namaku Andy Wijaya, lahir pada hari Selasa tanggal 28 Syaban 1391 H atau bertepatan dengan tanggal 19 Oktober 1971 di Pagar Alam. Aku anak ke-5 dari 6 bersaudara. Nama “pejadiku” Hasan Basri (alm) dan Hj. Ruhaibah. Kedua orangtuaku (sebelum aku tahu, bahwa dari garis keturunan ibu, kami berasal dari Semende) berdomisili di Dusun Singepure Kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat.

Dusun Singepure, dulunya salah satu dusun dalam Marga Kebun Jati, memiliki wilayah yang terluas dibanding beberapa dusun yang ada di Marga Kebun Jati itu. Secara umum Marga Kebun Jati sering juga disebut dengan “daerah sebrang Endikat” atau juga menurut cerita-cerita orang tua disebut juga “Pasemah Tengah Padang”. Salah satu batas wilayahnya ke Utara adalah Wilayah Bukit Patah, Anak Gunung dan lain sebagainya. Pada wilayah inilah terdapat daerah perkebunan kopi rakyat yang sangat luas, yaitu Selepah, Seleman Marcawang dan Tunggul Bute. Sebagian besar petani kopinya berasal dari Semende, ini dimungkinkan karena jarak yang tidak begitu jauh daerah Semende.

Aku mengetahui bahwa kami sekeluarga memiliki garis keturunan Semende, pastinya setelah dewasa. Inipun setelah adanya komunikasi dengan keluarga yang berasal dari Semende, Dusun Fajar Bulan. Setelah itu, baru tahu bagaimana posisi kekerabatan itu siapa-siapa nama puyang, sekilas sejarah para puyang dan siapa-siapa kerabat ibu yang memiliki garis keturunan Semende di Pasemah. Semuanya menjadi terang dan jelas. Di waktu kecil, sebenarnya bukan tidak pernah diceritakan atau mendengar informasi tentang ke-Semende-an itu, tetapi informasi tersebut bagai mata rantai yang terputus, sehingga tidak disadari kalau informasi itu sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang terkait dengan Identitas Budaya seseorang.

Informasi-informasi tersebut adalah sebagai berikut ;

a. Ketika masih kecil di Pagar Alam, umurku sekitar 5 – 6 ada seseorang profilenya sangat terekam dalam memoriku, beliau sudah berumur dan Haji, yang kerapkali ke rumah yang aku panggil dengan sebutan “Bapang Tue”. Nama "Bapang Tue" H. Amar, asal Segamit, membuka kebun di Pengaringan dan memiliki rumah di jalan gunung Pagar Alam. Dan seingatku silaturhami dengan Bapang Tue waktu itu sangat intens karena sudah "angkan-angkanan" dengan Bapak. Dan ada ungkapan-ungkapannya yang begitu melekat dalam memoriku adalah yang sering diucapkan oleh Bapang Tue adalah “jauh kiamat". Juga “kebiasaan” beliau manakala makan bersama-sama suka “ngirup kua gulai”.

b. Ada pula cerita mengenai perjuangan Bak nga Umak ketika baru berkeluarga, membuka kebun di Selepah, di waktu ini Bak terutama Umak sudah mengetahui adanya hubungan kekerabatan dengan Semende. Ketika “menebas” kebun itu Bak dan Umak, ditolongi oleh tetangga kebun yang sebagian besar berasal dari Semende. Rupanya ada kebiasaan untuk saling tolong menolong ketika akan membuka kebun.

c. Dulunya “orang-orang bukit” (sebutan buat yang berkebun di daerah Selepah, Seleman dan Marcawang, tentu sebagian besar dari Semende) berbelanja bahan makanan atau menjual kopi ke Pagar Alam selama dua hari. Untuk menuju ke Pagar Alam mereka harus berjalan kaki sejauh 20 km untuk bertemu jalan aspal, yang kalaupun ada kuda, biasanya lebih digunakan sebagai kuda beban pengangkut kopi dan lain sebagainya. Dengan waktu tempuh 2 hari, mereka menjadikan Dusun Singepure sebagai transit menginap dan menitip barang, tepatnya di rumah kami. Kebetulan rumah tersebut cukup besar dan Bak menjabat Rie (kepala desa). Menurut cerita Umak, awal-awalnya barang-barang belanjaan “orang-orang bukit” tidak begitu diatur atau diurus sendiri-sendiri. Tetapi ketika ada yang “ncanggih”(ngutil) dan yang kehilangan rebut-ribut, maka diambil kebijakan oleh umak seluruh barang belanjaan dan bawaan dimasukkan ke kamar tempat penyimpanan barang dan baru boleh diambil esok hari ketika akan pulang ke bukit.

d. Bak, Umak, kakangku ye tue nga kelawai ye tue pule, sudah tuh Uwak Rumah Asna (ye bename Salik) sekeluarga pernah pulang ke Semende. Perjalanan tersebut ditempuh dengan jalan kaki. Subuh mereka berangkat sampai di dusun Fajar Bulan Magrib atau dalam bahasa umak "perjalanan sarhi panjang". Kalau menurut Umak perjalanan itu mulai dari Batu Rishet, Pematang Balai, Pematang Bulat, Rekimai, Tunggul Bute terus ke Fajar Bulan. Aku yang mendengar cerita itu tercengang-cengang. Awalnya hanya batas ini aku memahami cerita tersebut. Baru dikemudian hari ada cerita tambahan. Bahwa keluarga waktu akhirnya sedekah dan ziarah ke Dusun Mutung. Cerita Wak Rumah Asna bahwa Umak adalah Tunggu Tubang, suatu amanah yang turun temurun, meneruskan amanah Puyang yang dari Semende, yang pindah karena ikut suami ke Pasemah. Rupanya ada dua Tunggu Tubang, yang satu di Dusun Fajar Bulan dan satu lagi ke di Pasemah. Kalau kata Wak Rumah Asna, waktu diperlihatkan apa yang disebut sebagai sawah “puyang besemah” yang menghadap ke Tanjung Raye. Dan cerita yang paling sedih adalah cerita wak tentang “jeme tue”(Wak Rumah Asna dek teringat tuturhane) bahwa kami rhapat main layangan, udem tuh kami sengajekah putuskah. Bearhap layangan tuh sampai ke Besemah (ke rhumah puyang Besemah). Dan Sepulang dari Semende Wak Rumah Asna membuat catatan tentang silsilah, yang insyaAllah masih ada, walau memang sangat terbatas.

(bersambung)